Rabu, 13 April 2011

pancakhanda

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia adalah lima kelompok kehidupan atau dalam kata pali disebut pancakhanda. Jika dikatakan tidak ada “diri” yang kekal dalam diri manusia, jadi apakah yang menyebabkan timbulnya pribadi pada manusia itu? Dan apakah yang diartikan dengan manusia jika kita mempergunakan kata “aku” untuk menyebutnya?
Manusia mencakup jasmani dan bathin. Di luar itu tidak terdapat sesuatu inti yang kekal. Buddha menyatakan bahwa apa yang sering kali dikatakan sebagai diri atau ”ego”, sesungguhnya hanyalah sifat-sifat atau keadaan mental dan fisik, yang langsung berhubungan dengan jasmani dan bathin.
Makhluk (manusia) menurut Buddhisme merupakan perpaduan dari lima kelompok kehidupan (Pancakhandha). Lima kelompok kehidupan terdiri atas kelompok materi (rupa), perasaan (vedana), persepsi (sanna), formasi mental (sankhara), dan kesadaran (vinnana) (S.I. 186; III. 36; III. 58; III. 189; IV. 162; M. I. 438). Keinginan (tanha) mendorong munculnya jasmani (rupa), perasaan (vedana), persepsi (sanna), formasi mental (sankhara), dan kesadaran (vinnana), ketika semua itu menyatu dan terikat maka disebut sebagai makhluk (satta) atau pribadi (sakkya).
Tidak terdapat manusia diluar lima khandha. Lima khandha bukan kesatuan-kesatuan yang berdiri sendiri, melainkan merupakan kelompok-kelompok yang saling bergantungan, dan masing-masing mengalami proses perubahan dan kelangsungan sendiri.
Untuk memahami masalah manusia, beberapa orang menganggap bahwa terlebih dahulu haruslah terdapat suatu “inti” atau “hakekat” yang merupakan identitas didalam diri manusia yang dinamakan ego, atta, diri, dan lain sebagainya. Akan tetapi, bila mana kita mau berfikir dengan bijaksana, tak perlulah vaktor itu diadakan untuk memahami seluk-beluk “manusia”. Manusia terdiri dari jasmani dan rohani (rupa-nama), yang kedua-duanya bersifat berubah dan mengalir terus menerus, timbul dan tenggelam, sampai proses itu dihentikan dan dicapainya nibbhana. Sebagai contoh sebuah kereta, didalam sebuah kereta tidak terdapat suatu inti atau hakekat. Kereta terdiri roda-roda, rangka, kendali, jari-jari, sumbu atau as, dan lain-lain. Apabila bagian-bagian tersebur terpisah-pisah maka tidak dapat disebut sebagai suatu kereta, karena kereta tersebut mencakup bagian-bagian yang membentuknya.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Perbedaan Pancakhandha menurut Theravada dan Mahayana..
1.      Bagaimana pengertian Pancakhandha?
2.      Bagaimana perbedaan pancakhandha menurut Theravada dan Mahayana?

C.     Tujuan Kajian
1.      Mendiskripsikan pengertian Pancakhandha..
2.      Mendiskripsikan perbedaan pancakhandha menurut Theravada dan Mahayana.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Panca Khanda
Dalam Agama Buddha diajarkan bahwa seorang manusia terdiri dari lima kelompok kehidupan/kegemaran (Khandha) yang saling bekerja-sama dengan erat sekali. Kelima kelompok kehidupan/kegemaran tersebut adalah :
  1. Rupa = Bentuk, tubuh, badan jasmani.
  2. Sañña = Pencerapan.
  3. Sankhära = Pikiran, bentuk-bentuk mental.
  4. Vedanä = Perasaan.
  5. Viññana = Kesadaran. (http://mahavatar.wordpress.com/buddhism-untuk-pemula/)
Kelima Khandha ini dapat digolongkan menjadi 2 bagian, yaitu:
  1. Rupa digolongkan sebagai Rupa (kaya) atau jasmani, sesuatu yang berbentuk dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki berikut hal-hal lainnya yang ada dalam tubuh seperti jantung, paru-paru, ginjal, pernapasan, suara, suhu tubuh, dan sebagainya. Rupa atau jasmani ini juga merupakan perpaduan dari 5 unsur, yaitu : unsur padat (pathavi dhatu), unsur cair (apo dhatu), unsur api/panas (tejo dhatu), unsur angin/gerak (vayo dhatu), dan unsur udara/oksigen (akasa dhatu).
  2. Viññana, Sañña, Sankhära, Vedanä digolongkan sebagai Nama (citta) atau batin, sesuatu yang berada dalam jasmani dan tidak dapat dilihat. Di bawah ini merupakan penjelasan atas Viññana, Sañña, Sankhära, Vedanä sekaligus proses batin secara berurutan yang terjadi ketika jasmani kita melakuan kontak dengan sesuatu.
Viññana
Viññana berarti kesadaran atau juga disebut dengan citta. Keberadaannya dapat kita analisa ketika kita menyadari bahwa bathin kita telah menangkap suatu rangsangan ketika anggota tubuh kita berhubungan dengan sesuatu, misalnya:
- terjadi kontak antara mata dengan suatu bentuk.
- terjadi kontak antara jasmani dengan sentuhan.
- terjadi kontak antara telinga dengan suara.
- terjadi kontak antara hidung dengan bau-bauan.
- terjadi kontak antara pikiran dengan situasi.
Sañña
Sañña berarti pencerapan. Keberadaannya dapat kita analisa ketika batin kita mencerap atau menerima ataupun mengenal rangsangan-rangsangan yang terjadi pada tubuh kita melalui suatu bagian dari otak kita.
Sankhära
Sankhära berarti bentuk-bentuk pikiran. Keberadaannya dapat kita analisa ketika rangsangan pada tubuh yang telah disadari dan dicerap akan dibanding-bandingkan dengan pengalaman kita yang dulu-dulu melalui gambaran-gambaran pikiran yang tersimpan dalam batin kita, yang pernah kita lihat, dengar, sentuh dan lain-lain.
Vedanä
Vedanä berarti perasaan. Keberadaannya dapat kita analisa ketika kita telah membanding-bandingan rangsangan kemudian timbul perasaan senang (suka) atau tidak senang (tidak suka), bahagia maupun menderita, dan perasaan netral.
Secara singkat, proses batin yang terjadi ketika tubuh kita menerima rangsangan sebagai berikut:
Kesadaran   =>   Pencerapan   =>   Pikiran   =>   Perasaan
(proses batin ini terjadi secara cepat)
Karena makhluk hidup khususnya manusia merupakan perpaduan dari berbagai unsur atau kelompok kehidupan (khandha), maka sesuai dengan hukum Tiga Corak Kehidupan (Tilakkhana), maka makhluk hidup apapun juga memiliki sifat tidak kekal (anicca), bukan diri sejati (anatta), dan dapat menimbulkan penderitaan (dukkha). (http://mahavatar.wordpress.com/2009/02/03/)
B.     Pandangan Panca Khanda Menurut pandangan Theravada dan Mahayana

  1. Panca Khandha  menurut pandangan Theravada
Sang Budha menyatakan,bahwa apa yang sering kali dikatakan sebagai” diri” atau Ego, sesungguhnya hanyalah sifat- sifat atau keadaan mental dan fisik yang berlangsung berhubungan dengan jasmani dan batin kita.
Panca khanda bukanlah kesatuan yang berdiri sendiri, melainkan kelompok- kelompok yang saling bergantungan dan masing- masing mengalami proses perubahan dan kelangsungannya sendiri. Dalam kitab Samyuta Nikaya III: 47 dijelaskan bahwa yang disebut mahluk- mahluk adalah pancakkhanda ( lima kelompok kehidupan).
Pancakkhanda terbagi menjadi lima bagian yaitu:
a.       Rupakkhanda (kelompok jasmani).
Kelompok kehidupan atau khanda ini berasal dari bhuta, artinya unsur utama yang terdiri dari empat unsur (catu dhatu), yaitu :
1)      pathavi-dhatu (unsur padat) ialah segala sesuatu yang padat pada tubuh manusia, misalnya : tulang, gigi, kuku, dan lain-lain. Unsur ini dinamakan unsur mengembang,yang menjadi pokok dasar kelompok kehidupan jasmani dan unsur yang memudahkan wujud materi yang mendapatkan ruang. Segala benda yang bersifat keras dan lemas adalah perkembangan unsur ini, yang banyak terdapat didalam kebendaan.
2)      Apo-dhatu (unsur cair) ialah sesuatu yang bersifat cair pada tubuh manusia, misalnya : darah, peluh, air mata, dan lain-lain. Unsur ini dinamakan unsur persamaan, yang dkenal sebagai unsur yang pengaruhnya lebih besar diair. Unsur inilah yang menyatukan benda-benda atom dalam menggerakan atau memencarkan hingga mewujudkan bentuk benda yang besar.
3)      Tejo-dhatu (unsur panas) ialah segala sesuatu yang bersifat panas, misalnya : demam, suhu badan, energi pencernaan dan lain-lain. Unsur ini dinamakan unsur yang dapat mematangkan segala benda-benda, oleh karna pengaruhnya lebih besar di api, maka unsur ini di namakan dengan unsur api. Tetapi unsur api ini berisikan hawa dingin, maka hawa panas dengan hawa dingin adalah dua perkembangan dari unsur ini dan keutuhannya atau kerusakannya semua benda-benda juga disebabkan oleh unsur ini.
4)      Vayo-dhatu (unsur gerak) ialah segala sesuatu yang bersifat gerak didalam tubuh manusia, misalnya : nafas, udara, hawa udara dalam badan dan lain-lain. Unsur ini dinamakan unsur kekuatan penunjang atau penolak, maka semua pergerakan dan getaran disebabkan oleh unsur ini.
Keempat unsur diatas tidak dapat dipisah-pisahkan, akan tetapi saling bergantungan yang satu dengan yang lainnya, saling bantu-membantu dan sebagainya. Segala benda terbentuk berasal dari dari keempat unsur tersebut diatas dan apabila rusak, maka akan terurai kembali kepada unsur asalnya semula yang membentuknya. Didalam rupakkhandha ini termasuk pula panca-indriya, yaitu:
1)      Mata (cakkhu), ialah dengan obyek sasarannya seperti bentuk-bentuk yang dapat dilihat.
2)      Telinga (sota), ialah dengan obyek sasarannya seperti suara-suara yang dapat didengarnya.
3)      Hidung (ghana), ialah dengan obyek sasarannya seperti bau-bauan yang dapat diciumnya.
4)      Lidah (jivha), ialah dengan obyek sasarannya seperti makanan dan minuman yang dapat dikecapnya.
5)      Tubuh (kaya), dengan obyek sasarannya seperti yang keras atau yang lembut yang dapat disentuhnya.
Selain kelima indriya diatas juga terdapat pikiran, ialah dengan pendapat-pendapat dan konsapsi-konsepsi yang ada didalam alam “obyek pikiran”
 Sang Buddha mengatakan bahwa jasmani atau rupa setiap mahluk itu terbentu karena adannya empat paccaya atau empat kebutuhan yaitu:
1)      Kamma atau perbuatan.
2)      Citta atau pikiran.
3)      Utu atau suhu.
4)      Ahara atau makanan (Pandit J. Khaharuddin, 2004: 195)
b.      Vedanakkhanda ( Kelompok perasaan)
Kelompok kehidupan atau khandha ini yang termasuk semua perasaan bahagia, menderita dan perasaan netral, yang timbul karena adanya kontak atau kesan daripada indriya-indriya yang berhubungan dengan dunia luar (obyek sasarannya). Kesanggupan untuk mengenal rasa dibagi menjadi tiga, yaitu:
1)      Sukha-Vedana                     : Perasaan senang dari jasmani atau bathin.
2)      Dukkha-Vedana                   :  Perasaan derita dari jasmani atau bathin.
3)      Adukkhamasukha-vedana   :  Perasaan seimbang yaitu bukan senang, pun bukan derita (Upekkha-vedana) (Panjika, 1994: 181).
Ada enam macam perasaan menurut jalan munculnya, yaitu :
1)      Cakkhusamphassaja-vedana: perasaan yang ditimbulkan dari kontak atau kesan melalui cakkhu dengan bentuk-bentuk yang dapat dilihat
2)      Sotasamphassaja-vedana: perasaan yang ditimbulkan dari kontak atau kesan melalui sota dengan suara-suara yang dapat didengarnya
3)      Ghanasamphassaja-vedana: perasaan yang ditimbulkan dari kontak atau kesan melalui ghana dengan bau-bauan yang dapat diciumnya
4)      Jivhasamphassaja-vedana: perasaan yang ditimbulkan dari kontak atau kesan melalui jivha dengan makanan dan minuman yang dapat dikecapnya
5)      Kayasamphassaja-vedana: perasaan yang ditimbulkan dari kontak atau kesan melalui kaya dengan sesuatu yang keras atau yang lembut yang dapat disentuhnya
6)      Manosamphassaja-vedana: perasaan yang ditimbulkan dari kontak atau kesan melalui manayatana atau dhammayatana (landasan pikiran) dengan gambaran-gambaran pikiran yang dapat dipikirkannya (Panjika, 1994:181)
Sang Budha menguraikan bahwa ada lima macam perasaan  yaitu:
1)      Sukha-vedana         : Perasaan senang dari jasmani
2)      Dukkha-vedana       : Perasaan derita dari jasmani
3)      Somanassa-vedana  : Perasaan bahagia dari  batin
4)      Domanassa-vedana  : Perasaan derita dari  batin
5)      Upekkha-vedana      : Perasaan seimbang, yaitu bukan bahagia dan bukan derita (Panjika, 181: 1994).
c.       Sannakkhanda (kelompok pencerapan )
Kelompok kehidupan atau khandha ini termasuk semua pencerapan yang menyenangkan, menjemukan dan yang netral, yang ditimbulkan dari keenam indriya berhubungan dengan obyek-obyek sasarannya masing-masing, sebagai mana halnya kelompok perasaan, dimana pencerapan tercipta disebapkan oleh keenam indriya yang mengadakan kontak dengan dunia luar, yaitu :
1)      Rupa-sannapencerapan     :  bentuk-bentuk yang dilihat oleh mata
2)      Sadda-sanna                      :  pencerapan suara-suara yang didengar oleh telinga
3)      Gandha-sanna                   :  pencerapan bau-bauan yang dicerap oleh hidung
4)      Rasa-sanna                        :  pencerapan makanan dan minuman yang dikecap oleh lidah
5)      Potthabba-sanna                :  pencerapan benda-benda keras atau lembut yang disentuh oleh tubuh
6)      Dhamma-sanna                 :  pencerapan obyek-obyek mental oleh pikiran (Panjika, 1994: 182).
Melalui pencerapan inilah orang baru dapat mengenali obyek-obyek, baik yang merupakan obyek fisik maupun obyek mental.
d.      Sankaharakkhanda (kelompok bentuk pikiran)
Kelompok kehidupan atau khandha ini termasuk semua keadaan mental yang membahagiakan, menderita dan yang netral, yang ditunjukan kepada enam golongan kehendak (cetana). Yaitu :
1)      kepada bentuk-bentuk yang dapat dilihatnya
2)      kepada suara-suara yang dapat didengarnya
3)      kepada bau-bauan yang dapat diciumnya
4)      kepada makanan dan minuman yang dapat dikecapnya
5)      kepada benda-benda keras atau lembut yang dapat disentuhnya
6)      kepada obyek-obyek mental yang dapat dipikirkannya
Dalam Sutta Pitaka (Samyutta-Pitaka handhavaragga), Sankhara adalah Cetana 6 atau Sancetana 6, terdiri dari:
1)      Rupa-sancetana           :  kehandak melihat objek bentuk.
2)      Sadda-sancetana         : kehandak mendengar objek suara.
3)      Ghandha-sancetana     : kehandak mencium objek bau.
4)      Rasa-sancetana            : kehandak mencicipi objek rasa.
5)      Potthabba-sancetana   : kehandak menyentuh objek sentuhan.
6)      Dhamma-sancetana     : kehandak memikir objek bathin (Panjika, 1994: 186).
Dalam kelompok kehidupan ini semua kegiatan kehendak (cetana) yang baik maupun yang buruk pada umumnya dikenal sebagai kamma, termasuk khandha ini.
e.       Vinnanakkhanda ( kelompok Kesadaran)
Kelompok kehidupan atau khandha ini ialah termasuk semua kesadaran yang menyenangkan, menjemukan dan yang netral, atau keadaan yang mengetahui obyek atau keadaan yang menerima mengingat, memikir dan mengetahui obyek. Menurut jalan munculnya, terdiri dari :
1)      Cakkhu-vinnana    :  kesadaran mata, muncul dengan adanya kontak antara mata dengan bentuk.
2)      Sota-vinnana         :  kesadaran telinga, muncul dengan adanya kontak dengan telinga.
3)      Ghana-vinnana      :  kesadaran hidung, muncul dengan adanya kontak dengan bau.
4)      Jivha-vinnana        :  kesadaran lidah, muncul dengan adanya kontak dengan rasa.
5)      Kaya-vinnana        :  kesadaran jasmani, muncul dengan adanya kontak dengan sentuhan.
6)      Mano-vinnana       :  kesadaran pikiran, muncul dengan adanya kontak antara batin dengan pikiran (Panjika, 1994: 186).
Kesadaran adalah suatu reaksi yang mempunyai dasar dari salah satu indriya, misalnya kesadaran mata (cakkhu-vinnana) sebagai dasar dan juga sebagai obyek dari benda-benda yang terlihat. Kesadaran pikiran (mano-vinnana) adalah pikiran sebagai dasar dan ide atau gambaran pikiran selalu dihubungkan dengan indriya. Sebagaimana halnya dengan perasaan, pencerapan dan kehendak (cetana) berhubungan dengan keenam indriya dan obyek sasarannya.
Kelima kelompok kehidupan atau pancakkhandha adalah membentuk keseluruhan apa yang disebut “manusia” dan tidak terdapat “manusia” diluar kelima khandha tersebut.

  1. Panca Skanda pandangan Mahayana
Kelompok kehidupan dalam mazhab Mahayana menekankan kepada penyembahan pribadi berdasarkan kasih sayang yang disembah.
Sang Buddha mengajarkan bahwa manusia tidak lain merupakan paduan dari lima kelompok batin dan jasmani yang disebut khanda yaitu:
a.       Rupa ( jasmani)
b.      Vedana (Perasaan- Perasaan)
c.       Sankhara (Bentu-bentu pikiran)
d.      Sanna( Pencerapan)
e.       Vinnana (Kesadaran)
Kelima Skhandha dapat diterjemahkan kedalam bahasa Inggris sebagai lima timbunan atau kelima kumpulan, kelima unsur yang membentuk manusia. Kelima unsur ini mengalir seperti sungai di dalam diri manusia. Bagaikan lima sungai yang mengalir bersamaan di dalam diri manusia; aliran bentik, yang berarti tubuh, aliran perasaan, aliran pendapat, aliran pembentuken-pembentukan batin, dan aliran kesadaran, yang selalu mengalir didalam tubuh manusia (Thich Nhat Hanh, 1988: 7).
Dalam perkembangan mahayana selanjutnya dipengaruhi oleh ajaran tantra, yang mengajarkan adannya penjelmaan deva yang tertinggi secara bertingkat. Pandangan Buddha Tantrayana konsep panccakkhanda ditingkatkan ketingkat yang sama dengan tingkat Buddha.
Seperti kita ketahui, mahayana berpegang pada dua pengertian, yaitu Bodhisatva dan Sunyata. Menjadi Bodhisatva adalah tujuan dari mahayana. Bodhisatva berarti calon Buddha. Dalam tradisi pali para calon Buddha dibagi menjadi tiga kualifikasi:
a.       Uggatitannu-Bodhisatta, yaitu Bodhisatta yang mempunyai kebijaksanaan (panna) tinggi, mampu menjadi Buddha dalam waktu yang singkat. Sering disebut sebagai Pannadhika-Bodhisatta.
b.      Vipacittam-Bodhisatta, yaitu Bodhisatta yang mempunyai kebijaksanaan yang menengah, mampu menjadi Buddha. Sering disebut Saddhadhika Bodhisatva.
c.       Neyya-Bodhisatta, yaitu Bodhisatta yang mempunyai kebijaksanaan tingkat rendah, mampu menjadi Buddha tetapi dalam waktu yang lama. Sering disebut Viriyadhika-Bodhisatta.
Sebagaimana diketahui mazhab Mahasangika, yang bibitnya sudah tumbuh pada zaman sanghayana kedua di Vesali, telah mengangkat kedudukan Buddha dari kedudukan sebagai manusia menjadi kedudukan spiritual, yaitu terdiri dari tiga tubuh: Dharmakaya, Sambogakaya, dan Nirmanakaya.
Dengan Dharmakaya yang dimaksud adalah tubuh halus (batin) Buddha dan merupakan ai (essence) dari segala alam kehidupan Dharmakaya adalah mutlak. Sambogakaya sebagai tubuh berkah, yang memiliki kekuatan memancarkan berkah. Nirmanakaya adalah tubuh Buddha yang mengajarkan Dharma.
Perkembangan selanjutnya dalam Mahayana didapati pandangan bahwa sang Buddha dengan Tubuh Dharma (Dharmakaya), juga dinamakan “Adi Buddha”, “Sunya” (kebenaran), “Bodhi” (kebijaksanaan), atau “Tathagatagarba” (Rahim dari yang mencapai tujuan).
Mahayana selain memberikan penghormatan dan pemujaan kepada  Buddha sakya Muni juga melakukan penghormatan dan pemujaan kepada Dhyani Buddha dan Bodhisatva. Dhyani Buddha adalah para Buddha yang mencapai Samyak sambodhi (samma sambodhi) sebelum Buddha sakya Muni yang berjumlah lima (Panca Dhyani Buddha) yang akan dijelaskan lebih lanjut.
Bodhisatva adalah tujuan penyempurnaan diri menurut ajaran Mahayana. Kata “Bodhi” berarti kebijaksanaan transenden  yaitu penerangan sempurna. Bodhi tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan merupakan refleksi dari Dharmakaya. Dengan demikian Bodhisatwa mempunyai potensi kebijaksanaan dan berjalan diatas tingkatan Dasabhumi (Pramudita, Vimala, Prabhakari, Arcismati, Sudurjaya, Abhimukti, Durangama, Acala, Sadhumati, dan Dharmamega).
Bodhisatwa juga merupakan perwujudan dari Bodhicitta, Prajna, dan Taruna.
a.       Bodhicitta adalah sesuatu yang terbebas dari segala macam determinasi ( ketentuan ), terlepas dari Panca skandha, 12 Ayanana (mata, telinga, hidung, lidah, badan jasmani, pikiran, bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan dan kesan-kesan pikiran) dan 18 dhatu. Itu bukan sesuatu yang khusus (teertentu), tetapi universal.
b.      Maitri Karuna adalah sari dari Bodhicitta; oleh karena itu, para Bodhisawa selalu berlandaskan hal tersebut didalam karyannya.
c.       Bodhicitta berdiam didalam samata (persamaan) diantara semua insan yang berbentuk upaya didalam penerapan penyelamatan semua insan.
Mengenai lima kelompok kehidupan ini, mashab Mahayana yang berkembang sejak awal abad Masehi karena pengaruh aliran baru, Bhakti menekankan kepada penyembahan pribadi berdasarkan kasih sayang yang disembah itu.
Tiga perlindungan (Tiratana, Triratna), yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha oleh mashad Mahayana diartikan secara luas. Karena pengaruh ‘bhakti’ tersebut umat Buddha (Mahayana) menerima pengertian berlindung kepada Buddha juga mencakup para Bodhisattwa.
Kelima Tathagatha itu masing-masing:
a.       Vairocana ( Yang Menernagi atau Yang Bersinar)
b.      Aksobhya ( Yang Tenang, Tak Tergoda)
c.       Ratnasambhava ( Pemata Ynag di Lahirkan)
d.      Amitabha ( Cahaya Ynag tidak Terbatas)
e.       Amoghasidhi ( Yang selalu Berhasil)
Para Tathagata ini berbeda keadaanya dengan Buddha, tidak pernah menjelma menjadi manusia. Aliran Bhakti menjadikan Mahayana menghormati pada banyak Buddha.
Dalam perkembangan Mahayana selanjutnya (setelah abad ke-7 Masehi) dipengaruhi oleh ajaran Tantra, yang mengajarkan adannya penjelmaan dewa yang tertinggi secara bertingkat. Tantrisme sebagai salah satu bentuk ajaran spiritual diperkirakan setelah berkembang di India sejak zaman dahulu, ketika manusia mulai menetap dalam bentuk masyarakat Agraris. Ajaran Tantra juga mempengaruhi agama Hindu/ syiwa. Agama Hindu yang dipengaruhi oleh ajaran Tantra terbagi menjadi Tantrayana kiri dan Tantrayana kanan.
Tantarayana dipekirakan berkembang didaerah Asam dan Benggala (India sekitar 600-650 Masehi etika Nagarjuna mengembangkan pandangan Mahayana. Selain menyebar keutara (Tibet dan sekitarnya), Buddha Tantrayana juga berkembang ke Indonesia.
Sebagaimana pengaruh ajaran Tantra terhadap agama Hindu, maka ajaran ini juga mempengaruhi agama Buddha dan menimbulkan dua mazhab dalam agama Buddha Mahayana, yaitu mazhab Wamacari dan Mazhab Daksinacari.
Sebagaimana pengaruh ajaran Tantra terhadap agama Hindu, maka ajaran ini juga mempengaruhi agama Buddha dan menimbulkan dua mazhab dalam agama Buddha Mahayana yaitu mazhab Wamacari dan mazhab daksinacari. Perbedaan kedua mazhab ini terletak pada personifikasi dewa yang menjadi tujuan ajaran, dimana pandangan kiri mewujudkan personifikasi dewi atau sakti sedang pandangan kanan mewujudkan personifikasi dewa.
Para ahli memperkirakan bahwa agama yang dipengaruhi oleh ajaran Tantra (Buddha Tantrayana atau Wajrayana) merupakan pandangan kanan sebagai lawan pandangan kiri yang diwakili oleh Amoghavajra.
Penerimaan ajaran Tantra oleh agama buddha diduga didasarkan atas percakapan (dialog) antara Sang Buddha dan Subuti yang dilukiskan dalam kitab Prajna Paramita yang menguraikan proses pembebasan dalam bentuk-bentuk dari mara sebagi berikut:
“.....sebagai halnya Bodhisatva membimbing berbagai manusia ke Nirwana tetapi tak seorang pun yang diantar bersama dan tak seorang pun yang telah memimpin seorang kesana. Bila bodhisatva mendapat ini, ia tidak akan gusar pun tidak takut dan tidak marah karena ia bersenjatakan pelindung yang amat dahsyat....”.
Pelindung yang dimaksud adalah “sakti” yang dijumpai didalam mantra, diagram dan mudra yang serba rahasia.
Dalam pandangan Buddha Tantrayana seperti telah disinggung diatas, konsep pancakandha telah ditingkatkan ke tingkat yang sama dengan tingkat buddha. Dhyani Buddha dipersamakan dengan Tathagata yang diberi gelar “Jina” (yang menang atau penakluk”, seperti gelar yang diberikan kepada Buddha. Dalam konsep Dhyani Buddha tersebut, wujud-wujud Dhyani Buddha dikiaskan dalam bentuk warna dan zat serta diuraikan dalam kitab Sanghyang Kamahayanikan sebagai berikut:

Nama Dhyani                    Wujud Panca                     India
Buddha                             Maha Bhuta                      Sifat lahiriah
Wairocana                         Perthiwi (tanah)                Reule (?)
Aksobhaya                        Akaca (eter)                      Suara
Ratna Sambhawa              Apah (air)                          Rasa
Amitabha                          Teja (api)                           Bentuk
Amogasiddhi                    Bayu (angin)                     Perasaan (?)

Dengan konsep wujud batiniah tersebut dimaksudkan bahwa setiap unsur (bhuta) atau ayatana yang terdiri atas lima badan jina yang melambangkan keserasian antara mikrokosmos yang diwakili oleh lima Dhyani Buddha yang menduduki lima penjuru mata angin.
Pada candi Borobudur sebagai candi Mahayana para Tathagata dipatungkan dalam wujud Dhyani Buddha (Buddha bersamadhi) dengan kedudukan mata angin tertentu:
a.       Tengah      : Wairocana
b.      Timur         : Aksobya
c.       Utara         : Amoghasiddhi
d.      Barat         : Amitabha
e.       Selatan      : Ratnasambhawa
Sebagai Buddha bersamadhi para Buddha ini tidak berbuat sesuatu tindakan secara langsung tetapi diserahkan kepada para Dhyani Bodhisatva.
Dhyani Buddha dalam sikap bersamadhi tersebut tangannya bersikap tertentu yang disebut mudra, mudra mana mempunyai arti tertentu yang membedakan pada Dhyani Buddha. Mahayana juga mengenal Buddha dunia (manusia Buddha) sebagai pancaran dari Buddha dalam dunia/alam cita-cita. Baik Dhyani Buddha maupun manushi Buddha memiliki mudra yang sama yaitu:
a.       Sebelah timur, Aksobhya dengan mudra Bhumipascamudra (bumi dipanggil sebagai saksi): telapak tangan kiri keatas pangkuan; telapak tangan kanan dengan jari-jari terbuka ke atas dan ibu jari ditekuk kedalam telapak tangan.
b.      Sebelah utara, Amogasiddhi dengan mudra Abhayumudra (tidak takut bahaya); telapak tangan kiri terbuka diatas pangkuan; telapak tangan kanan diatas lutut kanan dengan jari-jari terbuka ke atas dan ibu jari ditekuk kedalam telapak tangan.
c.       Sebelah barat, Amitabha dengan mudr Dhyananudra (mengheningkan cipta/samadhi); telapak tangan kanan diatas telapak tangan kiri; keduanya diatas pangkuan.
d.      Sebelah selatan, Ratnasambhawa dengan mudra Waramudra (memberi berkah/anugerah); telapak tangan kiri terbuka keatas pangkuan, telapak tangan kanan terbuka diaas lutut kanan, memberikan anugrah dan berkah.
e.       Di tengah, Wairocana dengan mudra Witarkamudra (sedang mengajar dan menguasai tiga alam-triloka); telapak tangan kiri terbuka diatas pangkuan, telapak tangan kanan diatas lutut kanan, tiga jari (tengah, manis, dan kelingking) keatas, ibu jari dan telunjuk membentuk lingkaran.
Pada candi Borobudur Dhyani Buddha Wairocana dipatungkan delam 64 buah arca yang menghadap kesemua arah dan dijumpai di tingkat 5 pada sekeliling lorong. Selanjutnya pada tingkat yang ke-6 dijumpai Dhyani Buddha Wajrasattva dengan mudra Dharmacakramudra (memutar roda dunia) sebagai hukum/ajaran kebenaran. Dhyani Buddha Wajrasattva ini didapati pada stupa-stupa berlubang pada tingkat Arupadhatu.



 
DAFTAR REFERENSI

Buddhism Untuk Pemula,(Online), (http://mahavatar.wordpress.com/buddhism-untuk-pemula/, diakses 30 September 2009).
Hanh, Thich Nhat. 1988. Sutra Hati.
Kaharuddin, Pandit.J. 1994. Abhidhammasangaha Jilid Kedua. Jakarta: CV. Nitra Kencana Buana.
Panjika. 1994. Kamus Umum Buddha Dhamma. Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre.
Sarono, Meto. 2008. Studi Komparasi Doktrin Anatta Menurut Sutta Pitaka dan Abhidhamma Pitaka. Skripsi tidak diterbitkan. Boyolali: Program Strata1 STIAB SMARATUNGGA.
Sumantri, M.U. 1980. Buku Pelajaran Agama Buddha Kebahagiaan Dalam Dhamma. Jakarta: Majelis Buddhayana Indonesia.


* EMPAT KEBENARAN MULIA (CATTARI ARYA SACCANI)



EMPAT KEBENARAN MULIA (CATTARI ARYA SACCANI)

Kesunyataan mengandung arti apa yang sesungguhnya. Dalam bahasa sansekerta disebut ‘satya’ artinya tidak dapt dibantah. Buddha mengajarkan ada empat kesunyataan seperti itu yang berhubungan dengan manusia. Khotbah ini dikenal dengan nama Dhammacakkapavattana-Sutta, yang disampaikan kepada lima orang pertapa di Taman Rusa Isipatana, Sarnath.
Empat kebenaran mulia adalah kebenaran yang ditemukan Buddha Sakyamuni dengan kemampuannya sendiri  (Buddha muncul atau tidak kesunyataan tetap ada). Kesunyataan mulia ini tidak akan berubah karena waktu, sebab merupakan kesunyataan abadi.
Ajaran Buddha didasari pada Empat Kebenaran Mulia. Menyadari kesunyataan ini adalah menyadari dan menembus ke dalam sifat sejati kebenaran, termasuk pengetahuan penuh terhadap dirinya sendiri. Jika kita mengenali bahwa semua benda/afenomena bersifat fana, tidak memuaskan, dan tidak mengandung kenyataan inti apapun, akan menumbuhkan keyaki8nan bahwa kebahagiaan sejati dan abadi tidak dapat ditemukan dalam kepemilikan materi dan pencapaian duniawi, bahkan kebahagiaan sejati harus diraihnya melalui pemurnian mental dan pengembangan kebijaksanaa.
Cattari Arya Saccani adalah empat kesunyataan mulia, yang merupakan bagian pokok ajaran Buddha, yaitu:
  1. Kesunyataan mulia tentang dukkha (Dukkha Arya Sacca)
  2. Kesunyataan mulia tentang sebab dukkha (Dukkha Samudaya Arya Sacca)
  3. Kesunyataan mulia tentang lenyapnya dukkha (Dukkha Nirodha Arya Sacca)
  4. Kesunyataan mulia tentang jalan menuju lenyapnya dukkha (Dukkha Nirodha Gamini Patipada Arya Sacca)












Memahami Empat Kesunyataan Mulia Dalam Tiga Tahap dan Dua
Belas Segi Pandangan

No
Empat Kesunyataan Mulia
Ujud sebenarnya
3 tahap dan 12 segi pandangan
Tahap I
Tahap II
Tahap III
1.
Dukkha
Ketidakpuasan: Lahir, tua, sakit, mati (pancakkhanda)
Kebenaran tentang dukkha ini harus diterima sebagai kebenaran (karena fakta yang tidak dapat dibantah)
Kebenaran tentang
Dukkha ini harus dimengerti /dipahami sebagai kebenaran oleh kita
Kebenaran tentang dukkha ini telah dipahami (oleh Buddha)




2.
Sebab dukkha
Tanha dan Avijja
- Kecanduan akan kenikmatan nafsu indria (kamatanha)
- Kecanduan akan kelahiran (bhavatanha)
- Kecanduan akan pemusnahan diri (vibhavatanha)
Kebenaran tentang sebab dukkha ini harus diterima sebagai kebenaran (karena ia merupakan fakta yang tidak dapat dibantah)
Kebenaran tentang sebab dukkha ini (Tanha dan Avijja) harus dilenyapkan oleh kita
Kebenaran tentang sebaba dukkha ini telah dilenyapkan (oleh Buddha)
3.
Lenyapnya dukkha
Nibbana/Nirvana
Kebenaran tentang lenyapnya dukkha ini harus diterima sebagai kebenaran (karena merupakan fakta yang tidak dapat dibantah)
Kebenaran tentang lenyapnya dukkha ini (Nibbana) harus direalisaikan oleh kita
Kebenaran tentang lenyapnya dukkha ini telah direalisasikan (oleh Buddha)
4.
Jalan menuju lenyapnya dukkha
Jalan mulia berunsur dealapan (Pandangan, pikiran, ucapan, perbuatan, mata pencaharian, usaha, perhatian, konsentrasi yang benar)
Kebenaran tentang cara mengakhiri dukkha ini harus diterima sebagai kebenaran (karena merupakan fakta yang tidak dapat dibantah)
Kebenaran ini ( Jalan Mulia berunsur 8 ) harus dikembangkan (karena ia satu-satunya jalan untuk merealisasikan Nibbana)
Kebenaran ini telah dikembangkan (oleh Buddha)

SUDDHARMA PUNDARIKA SUTRA


SUDDHARMA PUNDARIKA SUTRA

Saddharma  pundarika sutra atau sutra bunga teratai telah diterjemahkan dari bahasa sansekerta ke dalam bahasa mandarin oleh beberapa penterjamah.demikian juga terjemahan dari bahasa mandarin ke dalam bahasa inggeris oleh prof. H.Kern dan prof,Soothil.
Terjemahan yang pertama dalam bahasa mandarin oleh Ku Fa Hu (Dharmaraksha)berjudul Kan –Fa-Hwa –Kin terdiri dari 28 bab pada dynasti Tsin (265-316 M)pada waktu yang bersamaan juga ada terjemahannya yang belum selesai dan tidak diketahui siapa penterjemahanya dengan judul Sa-than-fan-tho-li-kin.
Kumarajiva(406 M)pada akir dynsati Tshin (384-417) menterjemahkan dengan judul Miao –Fa-lien-hwa-kin.terjemahannya adalah sesuai dengan terjemahan yang ada dalam bahasa Tibet yang juga terdiri dari 28 bab. Terjemahan terakhir dengan judul Thien Phin Miao Fa lien Hwa Kin oleh Gnanagupta dan Dharmagputa (601 M)pada dynsthi Sui terdiri dari 27 bab.pada tahun 475 M,Bhiksu Fa Sien menemukan satu bagian yaitu Dewadatta ketika beliau berada di khotan.sehingga menjadikan sutra itu menjadi 28 bab.yang di kemudian hari diterjemahkan oleh Fa i.terjemahan dalam bahasa Indonesia dan telah diterbitkan oleh Departemen Agama RI.
Ada beberapa bab yang dalam susunanya agak berbeda sebagaimana ada pada terjemahanya yaitu; urutan bab 1 sampai dengan 7.

Terjenahan Mandarin oleh Gnanagupta dan Dharmagupta
Bab: 1. ..............
2. .............
3. .............
4. .............
5. .............
6. .............
7. .............
Terjemahan pertama dalam bahasa mandarin Ku Fa Hu
Bab: 4. ................
1. ...............
2. ...............
3. ...............
5. ................
6. ................
7. ................
Terjamahan mandarin oleh Kumarajiva
Bab: 5. .............
2. ............
3..............
4..............
6..............
7..............
1..............


Berikut ini adalah kutipan dari bagian Analogi dari sutra Bunga teratai mengenai Dhrma yang dalam dan hebat itu,Buddha menyajikan perumpamaan untuk menerangkan Dharma mengenai sesorang dengan kemampuan besar memiliki sebuah rumah indah dan besar yang sedang terbakar.anak-anaknya yang sedang asik bermain-main tidak mau meninggal rumah tinggal itu.orang tuanya memikat mereka keluar dari rumah yang sedang terbakar itu dengan mengatakan kepada mereka bahwa di luar ada tiga jenis kereta untuk mereka bermain;kereta pertama ditarik oleh seekor kambing,kereta yang kedua ditarik oleh seekor rusa dan kereta ketiga ditarik oleh seekor lembu jantan.ketiga kereta itu diumpamakan Triyana.kenyataannya ketika anak-anaknya telah dengan selamat keluar dari rumah yang terbakar itu.tiap-tiap anaknya diberikan kereta yang sama yang ditarik oleh seekor lembu jantan putih.hal itu sungguh di luar mimpi yang indah.kereta yang sama diumpamakan Ekayana.Hyang Buddha dengan menggunakan kendaraan yang bijaksana untuk memikat makhluk hidup menghayati doktrin atau Dharma yang sebenarnya yaitu satu-satunya kereta Buddha Dharma atau Ekayana.
VINAYA-MAHAYANA
1.      Brahmajala sutra
(Fan-wang-cing; Fan-wang P’u-sa-chieh-cing;sutra of the perfect Net) terjemahan bahasa mandarin oleh kumarajiva antara tahun 401-409.sutra tersebut juga mencantumkan Bodhisattva sila yang terdiri dari;
(1)   Garukapatti  (kesalahan besar )                                   10 pasal
(2)   Lahukapatti    (kesalahan kecil )                                 48 pasal
Jumlah             58 pasal

2.      Upasaka Sila
Terjemahan bahasa mandarin oleh Dharmaraksa 414-421.

3.      Bhiksuni Sanghika Vinaya Pratikmoksha sutra
Terjemahan bahasa mandarin oleh Fa Hsien tahun 418 M,dan oleh i Tsing tahun 700-711.di dalam sutra tersebut terdapat 348 peraturan untuk bhiksuni sebagai berikut;
(1)   parajika                                                                        8 pasal
(2)   Sanghavasesa                                                           17  pasal
(3)    Naihsargika-prayascittika                                        30  pasal
(4)   Prayascitta                                                              178  pasal
(5)   Pratidesaniya                                                             8   pasal
(6)   Siksakaraniya                                                         100  pasal
(7)   Adhykarana-samdha                                                  7  pasal
                                                                                    Jumlah       348   pasal

4.      Pratimoksa Mahayana yang berdasarkan Dharmagupta-vinaya Terdiri dari 250 peraturan sebagai berikut;
(1) Parajika                                                                        4  pasal
(2) Sanghavasesa                                                              13 pasal
(3) Aniyata                                                                         2 pasal
(4) Nanisargika-prayascittika                                           30 pasal
(5) Prayascitta                                                                  90 pasal
(6) Pratidesaniya                                                                4 pasal
(7) Siksakaraniya                                                            100 pasal
(8) Adhyakarana-samadha                                                 7 pasal    
  Jumlah        250 pasal

Vinaya –Hinayana (Catuh-Vinaya)
 1  Sarvastivada-Vinaya (Chih-Sung lii;Ten Category Vinaya)
Terjemahan bahasa mandarin oleh punyatara dan kumarajiva antara tahun 404-409.direvisi oleh Vimalaksa.
2  Dharmagupta-Vinaya (Se fen lii;Four Category Vinaya)
Terjemahan bahasa mandarin oleh Buddhayaasha dan Chu fo Nien pada tahun 410-412
3  Mahasanghika-Vinaya (Mo Ho Seng Chi Lii;Vinaya of the Mahasanghika school)
Terjamahan bahasa mandarin oleh Fa Hsien dan Buddhabhadra pada tahun 416-418.
4   Mahisasaka-Vinaya (Wu Fen Lii;Five Catagory Vinaya)
Terjamahan bahasa mandarin oleh Buddhajiva tahun 423.

PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN AGAMA BUDDHA
Pendahuluan:
            Agama Buddha tidak memberikan ajaran kewajiban keagamaan bagi umatnya untuk prnikahan atau perkawinan sebagaimasaalah suci atau tidak suci pernikahan (perkawinan)pada dasarnya adalah masalah peribadi dan sosial.jadi jelas bukan suatu paksaan.agama Buddha menjujung tinggi emansipasi wanita.karena itu pria dan wanita mempunyai hak yang sama untuk memili apakah dia mau memiliki untuk membujang atau untuk berrumah tangga memang tiada hak bagi sesorang untuk menyatakan bahwa pernikahan itu adalah suatu hal yang tidak baik demikian juga tidak ada agama yang menentang pernikahan itu begitu pula dengan agama Buddha.
            Agama Buddha memandang pernikahan (perkawinan)itu adalah penyantun atau persekutuhan antara pria dan wanita atas dasar cinta kasih secara bersama untuk saling mengerti.saling menolong di waktu senang dan susah.saling menghormati keyakinan dan kepribadian masing-masing.memahami dan menghargai keyakinan dan keleluasaan masing-masing.tanggung jawab bersama sama karena saling mempercayai.denngan demikian pernnikahan itu merupakan persekutuan yang diperkaya ddan ditigikan dan dihargai sehingga kepribadiandari masing-masing dapat tumbuh secara wajar dan alamiah.

Nasehat untuk membangun kehidupan rumah tangga yang bahagia:
Peranan agama:
            Ajaran Buddha menjelaskan bahwa setelah menjalani hidup berumah tangga.maka akan timbul tanggung jawab dan kewajiban bagi suami istri.orang tua(ayah dan ibu)terhadap anak dan sebaliknya.juga masalah lain.namun bukan berati agama Buddha menentang pernikahan.
            Kita dapat memegang ajaran Buddha bagaimana datangnya masalah.sulit .kesenangan.dan penderitaan itu semuah adalah berpulang pada hakekat diri peibadi.dan jalan sarana untuk menghilangkan semuah permasalahan tersebut dan cara mengatasi individu sebagai bagian dari anggota masyarakat dituntut untuk mengerti kehidupan duniawi dengan segala masalah yang ada.bersikap dewasa dan beranui menghadapinya nasehat atau sarana dari yang lebih tua baik karena pengalaman dan pandangan yang bijaksana adalah perlu.alasan yang dikemukakan asalkan memenuhi rasio bukan melulu emodi dapat juga diterima oleh Budhism.
            Agama Buddha tidak membuat hukum-hukum atau firman-firman melainkan mengajar kan sila (disiplin moral)untuk dilaksanakan oleh umatnya tanpa paksaan.Buddhism tidak mengajarkan sumpah maupun kutukan,melainkan dengan welas asih.bodhisattva selalu menolong semuah makhluk hidup.menembus hukkum karma (kusala karma dan akusala karma) demi menolong mereka baik yang ada di neraka.
            Memang benar bahwa segala manusia hendakiah jangan menjadi budak dari agama,.agama adalah untuk manusia bukan sebaliknya manusia untuk agama.kebenaran buddha dharma adalah abadi ,maka ajarannya tertulis dalam kitab suci.juga mempersilakan siapa saja untuk mengkaji ajarannya,jika tidak dirasakan benar boleh tidak mempercayainya,faktanya semuah ajaran Buddhism memang benar dan toleransi adanya.
            Buddhism mengajarkan agar kita juga menghormati dan menghargai tata kehidupan masyarakat di mana kita berada,kebudayaan setempat,etika dan norma-norma kehidupan yang berlaku di mana umat Buddha sebagai anggota dari masyarakat ditempat tinggal,secara eksplisit,Buddhism juga mengajarkan agar umat buddha juga harus mentaati dan mennghormati hukum di suatu negara da mana umat itu bertempat tinnggal.asalkan hukum itu bermanfaat bagi semuah.karena tujuan hukkun adalah tata dan damai.
Nasehat sebelum memastikan pernnikahan
            Keputusan yang akan diambil untuk melangsukan pernikahan bukanlah atas dasar pertimbangan emosi.hawa nafsu.atau bersifat sementara dengan maksud bukan sebagai suami istri berdasarkan cinta kasih atau saling pengertian.saling membutuhkan untuk rasa aman.menyadari segala konsekuensi yang timbul sesudahnya akibat pernikahan itu.
            Tidak bertentengan dengan Buddhism dan Buddhism juga mengingatkan agar sebagai lelaki haruslah hati-hati dan waspada di dalam kehidupannya mengenai:harta.tahta.dan wanita.Suhrllekha (karya Arya Nagarjuna)menjelaskan:surat berikut ini ditulis untuk seorang umat dengan nasehat:
MENGETAHUI KUALITAS SEORANG ISTRI YANG BERPENGAHARAPAN:
            “Hindari 3 macam istri ini:ia yang seperti seoranngn pembunuh.dengan sendirinya berhubungan dengan musuh. Ia yang seperti seorang ratu.tidak menghargai suami nya.dan ia yang seperti maling.mencuri bahkan hal-hal kecil sekalipun.jenis istri yang pantas di hormati sebagai keluarga para dewa adalah dia yang baik seperti seorang saudara.tulus seperti seorang sahabat.yang mendoakan kebahagianmu seperti seorang ibu atau ia yang melayani kami seperti seorangn pelayan.”
            (kutipan dari”sutra seorang sahabat’Suhellkha karya Arya Nagarjuna.penerjemah:E.Swarnasanti.penerbit karniya.Bandung.hal.37.judul asli:The Letter Of a Friend by Arya Nagarjuna)




SIGALOVADA-SUTTA
Mengajarkan berupa”Nasehat Hyang Buddha kepada siswa berkeluarga”
1)      LIMA KEWAJIBAN ATAU TUGAS SUAMI TERHADAP ISTRI :
1.      Bersikap ramah dalam kata-kata dan perbuatan.menghormati istrinya
2.      Cinta dan sayangi istri dan bersikap jujur.
3.      Memberikan kepercayaan untuk mengurus rumah tangganya.
4.      Membelikan pakaian dan perhiasan atua hadia-hadiah kesukaan istrinya atau membuat hati nya gembira
5.      Melindungi keselamatan dan memberikan pengobatan seluruhnya dari segala penyakit dan bahaya.
2)      LIMA KEWAJIBAN ATAU TUGAS ISTRI TERHADAP SUAMI:
1.      Pekerjaan rumah tangga selalu diselsaikan dengan baik.
2.      Bersikap jujur dan patuh atas nasehat-nasehat suaminya.
3.      Nenghormat setiap tamu dan kawan-kawan suami yang datang ke rumahnya.
4.      Merawat baik-baik segala barang yang dibawa pulang suami.
5.      Melakukan tugas kewajiban dalam rumah tangga dengan perasaan gembira yang dibebaninya.
3)      LIMA CARA DIMANA ORANG TUA MEMBERIKAN CINTA KASIH KEPADA ANAK-ANAKNYA
1.      Ayah dan ibu melindungi anak-anaknya atau menjauhkannya dari perbuatan jahat atau gangguan kejahatan.
2.      Ayah dan ibu membibing anak-anaknya ke arah hidup yang susilla dan sopan danberkelakuan baik.
3.      Ayah dan ibu mengajarkan atau mendidik anak-anaknya dalam berbagai ilmu pengetahuan dan seni pekerjaan dan keahlian.pertunjukan dan sebagainya.
4.      Ayah dan ibu mencarikan pasangan hidup(suami atau istri)bagi anaknya dari keturunan yang baik-baik,yang sesuai.
5.      Jika kelak orang tua meninggal akan mewariskan segala harta kekayaan kepada anaknya atau apabila waktu nya telah tiba orang tua akan mewariskan segala harta kekayaan kepada anaknya.
4)      LIMA CARA SEORANG ANAK HARUS MENGHORMAT DAN MELAYANI AYAH IBU NYA
1.      Aku telah dirawat.dibesarkan dan dipelihara oleh ayah dan ibuku.maka sekarang kewajiban saya untuk merawat dan memelihara orang tua saya.
2.      Saya akan berkelakuan baik untuk menjaga kehormatan nama baik ayah ibu saya.
3.      Saya akan pelihara ddan merawat baik-baik harta pusaka dankebiasaan-kebiasaan tata tertib keagamaan ayah ibu saya,dan tradisi keluarga.
4.      Saya akan membuat hidup saya berharga sebagaimana juga orang tua saya telah berjasa terhadap ssaya.
5.      Jika kelak orang tua saya meninggal.saya akan mengurus upacara meninggalnya secara baik dan tertib.
PEMBERKATAN
Buddhism hanya memberi tutunan dan norma kehidupan pernikahan atau perkawinan.tetapi tidak mengatur kelembagaan dan hukum perkawinan.cerai.atau warisan.dengan demikian perihal pernikahan diatur oleh pemimpin agama berdasarkan tutunan dan norma agama dengan memperhatikan pula tradisi atau adat masyarakat yang bersangkutan.
Untuk pemberkatan pernikahan umat mahayana sekarang telah ada tata cara:”penuntun upacara pernikahan”dengan demikian umat mahayana yang akan melakukan pemberkatan pernikahan dapat menghubungi vihara / ceitta di tempat dia lakukan ibadah.
IKRAR PERNIKAHAN ;(VERSI MAHAYANA)
Pembaca ikrar janji pernikahan dilakukan oleh pemimpin upacara dengan diikuti oleh kedua mempelai:
Terpujilah Tuhan yang maha Esa
Hyang Tathagata yang Maha bijaksana
Di hadapan Buddha yang Mahasempurna
Pada hari ini kami saling mengikat janji
Untuk menjalani hidup berumah tangga
Dalam suka maupun duka akan kami hadapi bersama-sama
Kami berjanji akan hidup saling menghormati dan menyayangi
Kami berjanji akan selalu hidup rukun dalam suka maupun duka
Kami berjanji akan selalu mencintai.mengasihi keluarga kami
Kami berjanji akan selalu membina diri dalam Dharma hingga tercapai nya pantai bahagia
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkati kami.dan Buddha Yang Maha sempurna akan selalu melindungi keluarga kami.
(Kutipan dari “Dhama pitaka”penerbit :sangha mahayana indonesia.Majelis Agama Buddha Mahayana indonesia.Jakarta 1994.hal.101-102)
Setelah pemberkatan pernikahan dan Tata Upacara pernikahan lainnya.kemudian kedua mempelai melakukan”penandatangan piagam pernikahan”Dengan demikian kedua mempelai sudah diakui dan sah menurut Agama Buddha Aliran Mahayana.
Karena telah ada Undang-Undang perkawinan.Maka kedua mempelai dengan “piagam pernikahan”dan “Surat keterangan perkawinan”dari Rohaniawan pembina perkawinan Agama Buddha DKI Jakarta untuk wilayah Jakarta.untuk keperluan pencatatan pada kantor Catatan Sipil.Ak.e perkawinan.khusus Rohaniawan yang diangkat oleh Gubenur sebagai pembantu pegawai penvatatan perkawinan (P4)selain memiliki kewenangan sebagai Rohaniawan pembina perkawinan juga menyelenggarakan pencatatan perkawinan.(kutipan dari petunjuk pelaksanaan pelayanan perkawinan secara Agama Buddha”oleh pembibing Masyarakat Buddha.kanwil Departemen Agama DKI Jakarta.Jakarta 24 September 1992.Dr.K Wijaya Mukti.M.Sc)