Rabu, 13 April 2011

pancakhanda

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia adalah lima kelompok kehidupan atau dalam kata pali disebut pancakhanda. Jika dikatakan tidak ada “diri” yang kekal dalam diri manusia, jadi apakah yang menyebabkan timbulnya pribadi pada manusia itu? Dan apakah yang diartikan dengan manusia jika kita mempergunakan kata “aku” untuk menyebutnya?
Manusia mencakup jasmani dan bathin. Di luar itu tidak terdapat sesuatu inti yang kekal. Buddha menyatakan bahwa apa yang sering kali dikatakan sebagai diri atau ”ego”, sesungguhnya hanyalah sifat-sifat atau keadaan mental dan fisik, yang langsung berhubungan dengan jasmani dan bathin.
Makhluk (manusia) menurut Buddhisme merupakan perpaduan dari lima kelompok kehidupan (Pancakhandha). Lima kelompok kehidupan terdiri atas kelompok materi (rupa), perasaan (vedana), persepsi (sanna), formasi mental (sankhara), dan kesadaran (vinnana) (S.I. 186; III. 36; III. 58; III. 189; IV. 162; M. I. 438). Keinginan (tanha) mendorong munculnya jasmani (rupa), perasaan (vedana), persepsi (sanna), formasi mental (sankhara), dan kesadaran (vinnana), ketika semua itu menyatu dan terikat maka disebut sebagai makhluk (satta) atau pribadi (sakkya).
Tidak terdapat manusia diluar lima khandha. Lima khandha bukan kesatuan-kesatuan yang berdiri sendiri, melainkan merupakan kelompok-kelompok yang saling bergantungan, dan masing-masing mengalami proses perubahan dan kelangsungan sendiri.
Untuk memahami masalah manusia, beberapa orang menganggap bahwa terlebih dahulu haruslah terdapat suatu “inti” atau “hakekat” yang merupakan identitas didalam diri manusia yang dinamakan ego, atta, diri, dan lain sebagainya. Akan tetapi, bila mana kita mau berfikir dengan bijaksana, tak perlulah vaktor itu diadakan untuk memahami seluk-beluk “manusia”. Manusia terdiri dari jasmani dan rohani (rupa-nama), yang kedua-duanya bersifat berubah dan mengalir terus menerus, timbul dan tenggelam, sampai proses itu dihentikan dan dicapainya nibbhana. Sebagai contoh sebuah kereta, didalam sebuah kereta tidak terdapat suatu inti atau hakekat. Kereta terdiri roda-roda, rangka, kendali, jari-jari, sumbu atau as, dan lain-lain. Apabila bagian-bagian tersebur terpisah-pisah maka tidak dapat disebut sebagai suatu kereta, karena kereta tersebut mencakup bagian-bagian yang membentuknya.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Perbedaan Pancakhandha menurut Theravada dan Mahayana..
1.      Bagaimana pengertian Pancakhandha?
2.      Bagaimana perbedaan pancakhandha menurut Theravada dan Mahayana?

C.     Tujuan Kajian
1.      Mendiskripsikan pengertian Pancakhandha..
2.      Mendiskripsikan perbedaan pancakhandha menurut Theravada dan Mahayana.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Panca Khanda
Dalam Agama Buddha diajarkan bahwa seorang manusia terdiri dari lima kelompok kehidupan/kegemaran (Khandha) yang saling bekerja-sama dengan erat sekali. Kelima kelompok kehidupan/kegemaran tersebut adalah :
  1. Rupa = Bentuk, tubuh, badan jasmani.
  2. Sañña = Pencerapan.
  3. Sankhära = Pikiran, bentuk-bentuk mental.
  4. Vedanä = Perasaan.
  5. Viññana = Kesadaran. (http://mahavatar.wordpress.com/buddhism-untuk-pemula/)
Kelima Khandha ini dapat digolongkan menjadi 2 bagian, yaitu:
  1. Rupa digolongkan sebagai Rupa (kaya) atau jasmani, sesuatu yang berbentuk dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki berikut hal-hal lainnya yang ada dalam tubuh seperti jantung, paru-paru, ginjal, pernapasan, suara, suhu tubuh, dan sebagainya. Rupa atau jasmani ini juga merupakan perpaduan dari 5 unsur, yaitu : unsur padat (pathavi dhatu), unsur cair (apo dhatu), unsur api/panas (tejo dhatu), unsur angin/gerak (vayo dhatu), dan unsur udara/oksigen (akasa dhatu).
  2. Viññana, Sañña, Sankhära, Vedanä digolongkan sebagai Nama (citta) atau batin, sesuatu yang berada dalam jasmani dan tidak dapat dilihat. Di bawah ini merupakan penjelasan atas Viññana, Sañña, Sankhära, Vedanä sekaligus proses batin secara berurutan yang terjadi ketika jasmani kita melakuan kontak dengan sesuatu.
Viññana
Viññana berarti kesadaran atau juga disebut dengan citta. Keberadaannya dapat kita analisa ketika kita menyadari bahwa bathin kita telah menangkap suatu rangsangan ketika anggota tubuh kita berhubungan dengan sesuatu, misalnya:
- terjadi kontak antara mata dengan suatu bentuk.
- terjadi kontak antara jasmani dengan sentuhan.
- terjadi kontak antara telinga dengan suara.
- terjadi kontak antara hidung dengan bau-bauan.
- terjadi kontak antara pikiran dengan situasi.
Sañña
Sañña berarti pencerapan. Keberadaannya dapat kita analisa ketika batin kita mencerap atau menerima ataupun mengenal rangsangan-rangsangan yang terjadi pada tubuh kita melalui suatu bagian dari otak kita.
Sankhära
Sankhära berarti bentuk-bentuk pikiran. Keberadaannya dapat kita analisa ketika rangsangan pada tubuh yang telah disadari dan dicerap akan dibanding-bandingkan dengan pengalaman kita yang dulu-dulu melalui gambaran-gambaran pikiran yang tersimpan dalam batin kita, yang pernah kita lihat, dengar, sentuh dan lain-lain.
Vedanä
Vedanä berarti perasaan. Keberadaannya dapat kita analisa ketika kita telah membanding-bandingan rangsangan kemudian timbul perasaan senang (suka) atau tidak senang (tidak suka), bahagia maupun menderita, dan perasaan netral.
Secara singkat, proses batin yang terjadi ketika tubuh kita menerima rangsangan sebagai berikut:
Kesadaran   =>   Pencerapan   =>   Pikiran   =>   Perasaan
(proses batin ini terjadi secara cepat)
Karena makhluk hidup khususnya manusia merupakan perpaduan dari berbagai unsur atau kelompok kehidupan (khandha), maka sesuai dengan hukum Tiga Corak Kehidupan (Tilakkhana), maka makhluk hidup apapun juga memiliki sifat tidak kekal (anicca), bukan diri sejati (anatta), dan dapat menimbulkan penderitaan (dukkha). (http://mahavatar.wordpress.com/2009/02/03/)
B.     Pandangan Panca Khanda Menurut pandangan Theravada dan Mahayana

  1. Panca Khandha  menurut pandangan Theravada
Sang Budha menyatakan,bahwa apa yang sering kali dikatakan sebagai” diri” atau Ego, sesungguhnya hanyalah sifat- sifat atau keadaan mental dan fisik yang berlangsung berhubungan dengan jasmani dan batin kita.
Panca khanda bukanlah kesatuan yang berdiri sendiri, melainkan kelompok- kelompok yang saling bergantungan dan masing- masing mengalami proses perubahan dan kelangsungannya sendiri. Dalam kitab Samyuta Nikaya III: 47 dijelaskan bahwa yang disebut mahluk- mahluk adalah pancakkhanda ( lima kelompok kehidupan).
Pancakkhanda terbagi menjadi lima bagian yaitu:
a.       Rupakkhanda (kelompok jasmani).
Kelompok kehidupan atau khanda ini berasal dari bhuta, artinya unsur utama yang terdiri dari empat unsur (catu dhatu), yaitu :
1)      pathavi-dhatu (unsur padat) ialah segala sesuatu yang padat pada tubuh manusia, misalnya : tulang, gigi, kuku, dan lain-lain. Unsur ini dinamakan unsur mengembang,yang menjadi pokok dasar kelompok kehidupan jasmani dan unsur yang memudahkan wujud materi yang mendapatkan ruang. Segala benda yang bersifat keras dan lemas adalah perkembangan unsur ini, yang banyak terdapat didalam kebendaan.
2)      Apo-dhatu (unsur cair) ialah sesuatu yang bersifat cair pada tubuh manusia, misalnya : darah, peluh, air mata, dan lain-lain. Unsur ini dinamakan unsur persamaan, yang dkenal sebagai unsur yang pengaruhnya lebih besar diair. Unsur inilah yang menyatukan benda-benda atom dalam menggerakan atau memencarkan hingga mewujudkan bentuk benda yang besar.
3)      Tejo-dhatu (unsur panas) ialah segala sesuatu yang bersifat panas, misalnya : demam, suhu badan, energi pencernaan dan lain-lain. Unsur ini dinamakan unsur yang dapat mematangkan segala benda-benda, oleh karna pengaruhnya lebih besar di api, maka unsur ini di namakan dengan unsur api. Tetapi unsur api ini berisikan hawa dingin, maka hawa panas dengan hawa dingin adalah dua perkembangan dari unsur ini dan keutuhannya atau kerusakannya semua benda-benda juga disebabkan oleh unsur ini.
4)      Vayo-dhatu (unsur gerak) ialah segala sesuatu yang bersifat gerak didalam tubuh manusia, misalnya : nafas, udara, hawa udara dalam badan dan lain-lain. Unsur ini dinamakan unsur kekuatan penunjang atau penolak, maka semua pergerakan dan getaran disebabkan oleh unsur ini.
Keempat unsur diatas tidak dapat dipisah-pisahkan, akan tetapi saling bergantungan yang satu dengan yang lainnya, saling bantu-membantu dan sebagainya. Segala benda terbentuk berasal dari dari keempat unsur tersebut diatas dan apabila rusak, maka akan terurai kembali kepada unsur asalnya semula yang membentuknya. Didalam rupakkhandha ini termasuk pula panca-indriya, yaitu:
1)      Mata (cakkhu), ialah dengan obyek sasarannya seperti bentuk-bentuk yang dapat dilihat.
2)      Telinga (sota), ialah dengan obyek sasarannya seperti suara-suara yang dapat didengarnya.
3)      Hidung (ghana), ialah dengan obyek sasarannya seperti bau-bauan yang dapat diciumnya.
4)      Lidah (jivha), ialah dengan obyek sasarannya seperti makanan dan minuman yang dapat dikecapnya.
5)      Tubuh (kaya), dengan obyek sasarannya seperti yang keras atau yang lembut yang dapat disentuhnya.
Selain kelima indriya diatas juga terdapat pikiran, ialah dengan pendapat-pendapat dan konsapsi-konsepsi yang ada didalam alam “obyek pikiran”
 Sang Buddha mengatakan bahwa jasmani atau rupa setiap mahluk itu terbentu karena adannya empat paccaya atau empat kebutuhan yaitu:
1)      Kamma atau perbuatan.
2)      Citta atau pikiran.
3)      Utu atau suhu.
4)      Ahara atau makanan (Pandit J. Khaharuddin, 2004: 195)
b.      Vedanakkhanda ( Kelompok perasaan)
Kelompok kehidupan atau khandha ini yang termasuk semua perasaan bahagia, menderita dan perasaan netral, yang timbul karena adanya kontak atau kesan daripada indriya-indriya yang berhubungan dengan dunia luar (obyek sasarannya). Kesanggupan untuk mengenal rasa dibagi menjadi tiga, yaitu:
1)      Sukha-Vedana                     : Perasaan senang dari jasmani atau bathin.
2)      Dukkha-Vedana                   :  Perasaan derita dari jasmani atau bathin.
3)      Adukkhamasukha-vedana   :  Perasaan seimbang yaitu bukan senang, pun bukan derita (Upekkha-vedana) (Panjika, 1994: 181).
Ada enam macam perasaan menurut jalan munculnya, yaitu :
1)      Cakkhusamphassaja-vedana: perasaan yang ditimbulkan dari kontak atau kesan melalui cakkhu dengan bentuk-bentuk yang dapat dilihat
2)      Sotasamphassaja-vedana: perasaan yang ditimbulkan dari kontak atau kesan melalui sota dengan suara-suara yang dapat didengarnya
3)      Ghanasamphassaja-vedana: perasaan yang ditimbulkan dari kontak atau kesan melalui ghana dengan bau-bauan yang dapat diciumnya
4)      Jivhasamphassaja-vedana: perasaan yang ditimbulkan dari kontak atau kesan melalui jivha dengan makanan dan minuman yang dapat dikecapnya
5)      Kayasamphassaja-vedana: perasaan yang ditimbulkan dari kontak atau kesan melalui kaya dengan sesuatu yang keras atau yang lembut yang dapat disentuhnya
6)      Manosamphassaja-vedana: perasaan yang ditimbulkan dari kontak atau kesan melalui manayatana atau dhammayatana (landasan pikiran) dengan gambaran-gambaran pikiran yang dapat dipikirkannya (Panjika, 1994:181)
Sang Budha menguraikan bahwa ada lima macam perasaan  yaitu:
1)      Sukha-vedana         : Perasaan senang dari jasmani
2)      Dukkha-vedana       : Perasaan derita dari jasmani
3)      Somanassa-vedana  : Perasaan bahagia dari  batin
4)      Domanassa-vedana  : Perasaan derita dari  batin
5)      Upekkha-vedana      : Perasaan seimbang, yaitu bukan bahagia dan bukan derita (Panjika, 181: 1994).
c.       Sannakkhanda (kelompok pencerapan )
Kelompok kehidupan atau khandha ini termasuk semua pencerapan yang menyenangkan, menjemukan dan yang netral, yang ditimbulkan dari keenam indriya berhubungan dengan obyek-obyek sasarannya masing-masing, sebagai mana halnya kelompok perasaan, dimana pencerapan tercipta disebapkan oleh keenam indriya yang mengadakan kontak dengan dunia luar, yaitu :
1)      Rupa-sannapencerapan     :  bentuk-bentuk yang dilihat oleh mata
2)      Sadda-sanna                      :  pencerapan suara-suara yang didengar oleh telinga
3)      Gandha-sanna                   :  pencerapan bau-bauan yang dicerap oleh hidung
4)      Rasa-sanna                        :  pencerapan makanan dan minuman yang dikecap oleh lidah
5)      Potthabba-sanna                :  pencerapan benda-benda keras atau lembut yang disentuh oleh tubuh
6)      Dhamma-sanna                 :  pencerapan obyek-obyek mental oleh pikiran (Panjika, 1994: 182).
Melalui pencerapan inilah orang baru dapat mengenali obyek-obyek, baik yang merupakan obyek fisik maupun obyek mental.
d.      Sankaharakkhanda (kelompok bentuk pikiran)
Kelompok kehidupan atau khandha ini termasuk semua keadaan mental yang membahagiakan, menderita dan yang netral, yang ditunjukan kepada enam golongan kehendak (cetana). Yaitu :
1)      kepada bentuk-bentuk yang dapat dilihatnya
2)      kepada suara-suara yang dapat didengarnya
3)      kepada bau-bauan yang dapat diciumnya
4)      kepada makanan dan minuman yang dapat dikecapnya
5)      kepada benda-benda keras atau lembut yang dapat disentuhnya
6)      kepada obyek-obyek mental yang dapat dipikirkannya
Dalam Sutta Pitaka (Samyutta-Pitaka handhavaragga), Sankhara adalah Cetana 6 atau Sancetana 6, terdiri dari:
1)      Rupa-sancetana           :  kehandak melihat objek bentuk.
2)      Sadda-sancetana         : kehandak mendengar objek suara.
3)      Ghandha-sancetana     : kehandak mencium objek bau.
4)      Rasa-sancetana            : kehandak mencicipi objek rasa.
5)      Potthabba-sancetana   : kehandak menyentuh objek sentuhan.
6)      Dhamma-sancetana     : kehandak memikir objek bathin (Panjika, 1994: 186).
Dalam kelompok kehidupan ini semua kegiatan kehendak (cetana) yang baik maupun yang buruk pada umumnya dikenal sebagai kamma, termasuk khandha ini.
e.       Vinnanakkhanda ( kelompok Kesadaran)
Kelompok kehidupan atau khandha ini ialah termasuk semua kesadaran yang menyenangkan, menjemukan dan yang netral, atau keadaan yang mengetahui obyek atau keadaan yang menerima mengingat, memikir dan mengetahui obyek. Menurut jalan munculnya, terdiri dari :
1)      Cakkhu-vinnana    :  kesadaran mata, muncul dengan adanya kontak antara mata dengan bentuk.
2)      Sota-vinnana         :  kesadaran telinga, muncul dengan adanya kontak dengan telinga.
3)      Ghana-vinnana      :  kesadaran hidung, muncul dengan adanya kontak dengan bau.
4)      Jivha-vinnana        :  kesadaran lidah, muncul dengan adanya kontak dengan rasa.
5)      Kaya-vinnana        :  kesadaran jasmani, muncul dengan adanya kontak dengan sentuhan.
6)      Mano-vinnana       :  kesadaran pikiran, muncul dengan adanya kontak antara batin dengan pikiran (Panjika, 1994: 186).
Kesadaran adalah suatu reaksi yang mempunyai dasar dari salah satu indriya, misalnya kesadaran mata (cakkhu-vinnana) sebagai dasar dan juga sebagai obyek dari benda-benda yang terlihat. Kesadaran pikiran (mano-vinnana) adalah pikiran sebagai dasar dan ide atau gambaran pikiran selalu dihubungkan dengan indriya. Sebagaimana halnya dengan perasaan, pencerapan dan kehendak (cetana) berhubungan dengan keenam indriya dan obyek sasarannya.
Kelima kelompok kehidupan atau pancakkhandha adalah membentuk keseluruhan apa yang disebut “manusia” dan tidak terdapat “manusia” diluar kelima khandha tersebut.

  1. Panca Skanda pandangan Mahayana
Kelompok kehidupan dalam mazhab Mahayana menekankan kepada penyembahan pribadi berdasarkan kasih sayang yang disembah.
Sang Buddha mengajarkan bahwa manusia tidak lain merupakan paduan dari lima kelompok batin dan jasmani yang disebut khanda yaitu:
a.       Rupa ( jasmani)
b.      Vedana (Perasaan- Perasaan)
c.       Sankhara (Bentu-bentu pikiran)
d.      Sanna( Pencerapan)
e.       Vinnana (Kesadaran)
Kelima Skhandha dapat diterjemahkan kedalam bahasa Inggris sebagai lima timbunan atau kelima kumpulan, kelima unsur yang membentuk manusia. Kelima unsur ini mengalir seperti sungai di dalam diri manusia. Bagaikan lima sungai yang mengalir bersamaan di dalam diri manusia; aliran bentik, yang berarti tubuh, aliran perasaan, aliran pendapat, aliran pembentuken-pembentukan batin, dan aliran kesadaran, yang selalu mengalir didalam tubuh manusia (Thich Nhat Hanh, 1988: 7).
Dalam perkembangan mahayana selanjutnya dipengaruhi oleh ajaran tantra, yang mengajarkan adannya penjelmaan deva yang tertinggi secara bertingkat. Pandangan Buddha Tantrayana konsep panccakkhanda ditingkatkan ketingkat yang sama dengan tingkat Buddha.
Seperti kita ketahui, mahayana berpegang pada dua pengertian, yaitu Bodhisatva dan Sunyata. Menjadi Bodhisatva adalah tujuan dari mahayana. Bodhisatva berarti calon Buddha. Dalam tradisi pali para calon Buddha dibagi menjadi tiga kualifikasi:
a.       Uggatitannu-Bodhisatta, yaitu Bodhisatta yang mempunyai kebijaksanaan (panna) tinggi, mampu menjadi Buddha dalam waktu yang singkat. Sering disebut sebagai Pannadhika-Bodhisatta.
b.      Vipacittam-Bodhisatta, yaitu Bodhisatta yang mempunyai kebijaksanaan yang menengah, mampu menjadi Buddha. Sering disebut Saddhadhika Bodhisatva.
c.       Neyya-Bodhisatta, yaitu Bodhisatta yang mempunyai kebijaksanaan tingkat rendah, mampu menjadi Buddha tetapi dalam waktu yang lama. Sering disebut Viriyadhika-Bodhisatta.
Sebagaimana diketahui mazhab Mahasangika, yang bibitnya sudah tumbuh pada zaman sanghayana kedua di Vesali, telah mengangkat kedudukan Buddha dari kedudukan sebagai manusia menjadi kedudukan spiritual, yaitu terdiri dari tiga tubuh: Dharmakaya, Sambogakaya, dan Nirmanakaya.
Dengan Dharmakaya yang dimaksud adalah tubuh halus (batin) Buddha dan merupakan ai (essence) dari segala alam kehidupan Dharmakaya adalah mutlak. Sambogakaya sebagai tubuh berkah, yang memiliki kekuatan memancarkan berkah. Nirmanakaya adalah tubuh Buddha yang mengajarkan Dharma.
Perkembangan selanjutnya dalam Mahayana didapati pandangan bahwa sang Buddha dengan Tubuh Dharma (Dharmakaya), juga dinamakan “Adi Buddha”, “Sunya” (kebenaran), “Bodhi” (kebijaksanaan), atau “Tathagatagarba” (Rahim dari yang mencapai tujuan).
Mahayana selain memberikan penghormatan dan pemujaan kepada  Buddha sakya Muni juga melakukan penghormatan dan pemujaan kepada Dhyani Buddha dan Bodhisatva. Dhyani Buddha adalah para Buddha yang mencapai Samyak sambodhi (samma sambodhi) sebelum Buddha sakya Muni yang berjumlah lima (Panca Dhyani Buddha) yang akan dijelaskan lebih lanjut.
Bodhisatva adalah tujuan penyempurnaan diri menurut ajaran Mahayana. Kata “Bodhi” berarti kebijaksanaan transenden  yaitu penerangan sempurna. Bodhi tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan merupakan refleksi dari Dharmakaya. Dengan demikian Bodhisatwa mempunyai potensi kebijaksanaan dan berjalan diatas tingkatan Dasabhumi (Pramudita, Vimala, Prabhakari, Arcismati, Sudurjaya, Abhimukti, Durangama, Acala, Sadhumati, dan Dharmamega).
Bodhisatwa juga merupakan perwujudan dari Bodhicitta, Prajna, dan Taruna.
a.       Bodhicitta adalah sesuatu yang terbebas dari segala macam determinasi ( ketentuan ), terlepas dari Panca skandha, 12 Ayanana (mata, telinga, hidung, lidah, badan jasmani, pikiran, bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan dan kesan-kesan pikiran) dan 18 dhatu. Itu bukan sesuatu yang khusus (teertentu), tetapi universal.
b.      Maitri Karuna adalah sari dari Bodhicitta; oleh karena itu, para Bodhisawa selalu berlandaskan hal tersebut didalam karyannya.
c.       Bodhicitta berdiam didalam samata (persamaan) diantara semua insan yang berbentuk upaya didalam penerapan penyelamatan semua insan.
Mengenai lima kelompok kehidupan ini, mashab Mahayana yang berkembang sejak awal abad Masehi karena pengaruh aliran baru, Bhakti menekankan kepada penyembahan pribadi berdasarkan kasih sayang yang disembah itu.
Tiga perlindungan (Tiratana, Triratna), yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha oleh mashad Mahayana diartikan secara luas. Karena pengaruh ‘bhakti’ tersebut umat Buddha (Mahayana) menerima pengertian berlindung kepada Buddha juga mencakup para Bodhisattwa.
Kelima Tathagatha itu masing-masing:
a.       Vairocana ( Yang Menernagi atau Yang Bersinar)
b.      Aksobhya ( Yang Tenang, Tak Tergoda)
c.       Ratnasambhava ( Pemata Ynag di Lahirkan)
d.      Amitabha ( Cahaya Ynag tidak Terbatas)
e.       Amoghasidhi ( Yang selalu Berhasil)
Para Tathagata ini berbeda keadaanya dengan Buddha, tidak pernah menjelma menjadi manusia. Aliran Bhakti menjadikan Mahayana menghormati pada banyak Buddha.
Dalam perkembangan Mahayana selanjutnya (setelah abad ke-7 Masehi) dipengaruhi oleh ajaran Tantra, yang mengajarkan adannya penjelmaan dewa yang tertinggi secara bertingkat. Tantrisme sebagai salah satu bentuk ajaran spiritual diperkirakan setelah berkembang di India sejak zaman dahulu, ketika manusia mulai menetap dalam bentuk masyarakat Agraris. Ajaran Tantra juga mempengaruhi agama Hindu/ syiwa. Agama Hindu yang dipengaruhi oleh ajaran Tantra terbagi menjadi Tantrayana kiri dan Tantrayana kanan.
Tantarayana dipekirakan berkembang didaerah Asam dan Benggala (India sekitar 600-650 Masehi etika Nagarjuna mengembangkan pandangan Mahayana. Selain menyebar keutara (Tibet dan sekitarnya), Buddha Tantrayana juga berkembang ke Indonesia.
Sebagaimana pengaruh ajaran Tantra terhadap agama Hindu, maka ajaran ini juga mempengaruhi agama Buddha dan menimbulkan dua mazhab dalam agama Buddha Mahayana, yaitu mazhab Wamacari dan Mazhab Daksinacari.
Sebagaimana pengaruh ajaran Tantra terhadap agama Hindu, maka ajaran ini juga mempengaruhi agama Buddha dan menimbulkan dua mazhab dalam agama Buddha Mahayana yaitu mazhab Wamacari dan mazhab daksinacari. Perbedaan kedua mazhab ini terletak pada personifikasi dewa yang menjadi tujuan ajaran, dimana pandangan kiri mewujudkan personifikasi dewi atau sakti sedang pandangan kanan mewujudkan personifikasi dewa.
Para ahli memperkirakan bahwa agama yang dipengaruhi oleh ajaran Tantra (Buddha Tantrayana atau Wajrayana) merupakan pandangan kanan sebagai lawan pandangan kiri yang diwakili oleh Amoghavajra.
Penerimaan ajaran Tantra oleh agama buddha diduga didasarkan atas percakapan (dialog) antara Sang Buddha dan Subuti yang dilukiskan dalam kitab Prajna Paramita yang menguraikan proses pembebasan dalam bentuk-bentuk dari mara sebagi berikut:
“.....sebagai halnya Bodhisatva membimbing berbagai manusia ke Nirwana tetapi tak seorang pun yang diantar bersama dan tak seorang pun yang telah memimpin seorang kesana. Bila bodhisatva mendapat ini, ia tidak akan gusar pun tidak takut dan tidak marah karena ia bersenjatakan pelindung yang amat dahsyat....”.
Pelindung yang dimaksud adalah “sakti” yang dijumpai didalam mantra, diagram dan mudra yang serba rahasia.
Dalam pandangan Buddha Tantrayana seperti telah disinggung diatas, konsep pancakandha telah ditingkatkan ke tingkat yang sama dengan tingkat buddha. Dhyani Buddha dipersamakan dengan Tathagata yang diberi gelar “Jina” (yang menang atau penakluk”, seperti gelar yang diberikan kepada Buddha. Dalam konsep Dhyani Buddha tersebut, wujud-wujud Dhyani Buddha dikiaskan dalam bentuk warna dan zat serta diuraikan dalam kitab Sanghyang Kamahayanikan sebagai berikut:

Nama Dhyani                    Wujud Panca                     India
Buddha                             Maha Bhuta                      Sifat lahiriah
Wairocana                         Perthiwi (tanah)                Reule (?)
Aksobhaya                        Akaca (eter)                      Suara
Ratna Sambhawa              Apah (air)                          Rasa
Amitabha                          Teja (api)                           Bentuk
Amogasiddhi                    Bayu (angin)                     Perasaan (?)

Dengan konsep wujud batiniah tersebut dimaksudkan bahwa setiap unsur (bhuta) atau ayatana yang terdiri atas lima badan jina yang melambangkan keserasian antara mikrokosmos yang diwakili oleh lima Dhyani Buddha yang menduduki lima penjuru mata angin.
Pada candi Borobudur sebagai candi Mahayana para Tathagata dipatungkan dalam wujud Dhyani Buddha (Buddha bersamadhi) dengan kedudukan mata angin tertentu:
a.       Tengah      : Wairocana
b.      Timur         : Aksobya
c.       Utara         : Amoghasiddhi
d.      Barat         : Amitabha
e.       Selatan      : Ratnasambhawa
Sebagai Buddha bersamadhi para Buddha ini tidak berbuat sesuatu tindakan secara langsung tetapi diserahkan kepada para Dhyani Bodhisatva.
Dhyani Buddha dalam sikap bersamadhi tersebut tangannya bersikap tertentu yang disebut mudra, mudra mana mempunyai arti tertentu yang membedakan pada Dhyani Buddha. Mahayana juga mengenal Buddha dunia (manusia Buddha) sebagai pancaran dari Buddha dalam dunia/alam cita-cita. Baik Dhyani Buddha maupun manushi Buddha memiliki mudra yang sama yaitu:
a.       Sebelah timur, Aksobhya dengan mudra Bhumipascamudra (bumi dipanggil sebagai saksi): telapak tangan kiri keatas pangkuan; telapak tangan kanan dengan jari-jari terbuka ke atas dan ibu jari ditekuk kedalam telapak tangan.
b.      Sebelah utara, Amogasiddhi dengan mudra Abhayumudra (tidak takut bahaya); telapak tangan kiri terbuka diatas pangkuan; telapak tangan kanan diatas lutut kanan dengan jari-jari terbuka ke atas dan ibu jari ditekuk kedalam telapak tangan.
c.       Sebelah barat, Amitabha dengan mudr Dhyananudra (mengheningkan cipta/samadhi); telapak tangan kanan diatas telapak tangan kiri; keduanya diatas pangkuan.
d.      Sebelah selatan, Ratnasambhawa dengan mudra Waramudra (memberi berkah/anugerah); telapak tangan kiri terbuka keatas pangkuan, telapak tangan kanan terbuka diaas lutut kanan, memberikan anugrah dan berkah.
e.       Di tengah, Wairocana dengan mudra Witarkamudra (sedang mengajar dan menguasai tiga alam-triloka); telapak tangan kiri terbuka diatas pangkuan, telapak tangan kanan diatas lutut kanan, tiga jari (tengah, manis, dan kelingking) keatas, ibu jari dan telunjuk membentuk lingkaran.
Pada candi Borobudur Dhyani Buddha Wairocana dipatungkan delam 64 buah arca yang menghadap kesemua arah dan dijumpai di tingkat 5 pada sekeliling lorong. Selanjutnya pada tingkat yang ke-6 dijumpai Dhyani Buddha Wajrasattva dengan mudra Dharmacakramudra (memutar roda dunia) sebagai hukum/ajaran kebenaran. Dhyani Buddha Wajrasattva ini didapati pada stupa-stupa berlubang pada tingkat Arupadhatu.



 
DAFTAR REFERENSI

Buddhism Untuk Pemula,(Online), (http://mahavatar.wordpress.com/buddhism-untuk-pemula/, diakses 30 September 2009).
Hanh, Thich Nhat. 1988. Sutra Hati.
Kaharuddin, Pandit.J. 1994. Abhidhammasangaha Jilid Kedua. Jakarta: CV. Nitra Kencana Buana.
Panjika. 1994. Kamus Umum Buddha Dhamma. Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre.
Sarono, Meto. 2008. Studi Komparasi Doktrin Anatta Menurut Sutta Pitaka dan Abhidhamma Pitaka. Skripsi tidak diterbitkan. Boyolali: Program Strata1 STIAB SMARATUNGGA.
Sumantri, M.U. 1980. Buku Pelajaran Agama Buddha Kebahagiaan Dalam Dhamma. Jakarta: Majelis Buddhayana Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar